Oleh :  Nofendianto Rahmaan Setiap fragmen kehidupanku menyatu perlahan menjadi untaian kisah yang indah. Kupejamkan mata, sesaat kuras...

UnBroken

/
1 Comments
Oleh : Nofendianto Rahmaan

Setiap fragmen kehidupanku menyatu perlahan menjadi untaian kisah yang indah. Kupejamkan mata, sesaat kurasakan betapa hidup ini penuh dengan bulir-bulir keindahan. Indah di saat aku menyadari kaki ini telah meninggalkan jejak begitu jauh dalam kehidupan yang terjal. Indah di saat hati ini diisi oleh kepercayaan bahwa Sang Pencipta selama ini tidak pernah meninggalkanku dan selalu menyertaiku mengaruhi lautan luas bernama kenyataan. Dan indah, di saat batin ini telah mengosongkan dirinya dan bersedia diisi dengan ucapan syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan. Semua keindahan itu bermula di sini…

Namaku Nofendianto Rahmaan, orang tuaku dan beberapa temanku memanggilku Fendi. Beberapa teman ada yang memanggilku Nofen. Lucu juga punya dua nama panggilan. Sejak dahulu, aku selalu merindukan kehadiran seorang adik perempuan yang bisa menemaniku. Namun, sepertinya Tuhan belum juga mewujudkannya sampai saat ini. Yap, sejak aku lahir status ‘ontang-anting’ atau anak tunggal laki-laki tersemat kepadaku. Ayah dan Ibuku hanya memiliki aku di dunia ini sebagai anaknya. Di satu sisi, aku senang sekali sebab akulah anak yang pastinya dibanggakan oleh kedua orangtuaku. Aku juga yang akan diberikan perhatian dan kasih saying utuh dari Ayah dan Ibuku. Dan sudah pasti aku tidak perlu berbagi barang-barang yang kumiliki kepada saudara-saudara kandungku karena aku tidak memilikinya. Yeai, rasanya dunia ini begitu sempurna untuk dijalani, hanya ada aku, Ayah, dan Ibu. Tetapi, entah mengapa apa yang aku bayangkan itu tidak kurasakan seluruhnya dengan bahagia. Mata ini sering sekali berbinar dengan penuh harapan di saat melihat seorang anak laki-laki yang bisa bermain dengan penuh canda dengan adiknya perempuan. Rasanya seperti hasrat yang tidak bisa dipendam lagi. Ingin rasanya tanganku meraih tangan adik kecilku dengan lembut, menggandengnya menuju ke padang luas, dan kami berbaring di atas rumput sambil melihat birunya langit cerah penuh asa. Oh betapa angan itu selalu bisa membuat sense of happiness-ku meningkat.

Aku hanya ingin merasakan kasih yang utuh, hanya itu saja yang aku pinta. Bukankah hal itu yang didambakan oleh banyak orang di dunia? Maka, tak salah kan jika aku juga menginginkannya? Keutuhan kasih, satu hal yang mungkin belum aku dapat rasakan sekarang. Entah, sampai kapan aku terus begitu. Seorang teman berkata tentangku, “Mungkin kebahagiaanmu bukan pada keutuhan keluarga, Fen”. Yap, mungkin saja itu benar. Jika kau pernah bermain puzzle, saat dimana setiap bagian dapat terpasang pada tempatnya itu adalah suatu kebahagiaan yang mungkin tidak akan mudah diungkapkan. Tetapi, akan terasa berbeda saat kepingan terakhir yang dapat membuatmu tersenyum setelah berjibaku dengan permainan itu hilang entah kemana dan kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Rasanya kecewa dan marah, perpaduan antara rasa asam buah mangga muda dan pahitnya jamu daun papaya. Tak terbayangkan! Seperti itulah ketidakutuhan yang aku rasakan. Aku tidak mengerti apa bagaimana kepingan terakhir keluargaku dapat membuat kebahagiaan keluargaku begitu terpuruk, hingga aku menjadi bagian dari keterpurukan itu. Entah bagaimana aku berpikir, aku mendapatkan kesimpulan sederhana yang sejauh ini mampu membuat hatiku luluh tenggelam dalam kedamaian yaitu Dialah yang sengaja mengambil kepingan itu. Dia ingin menjadikan hidupku penuh arti melalui rencana-Nya yang aku belum pahami dan temukan hingga sekarang.

Oh Ayah, oh Ibu. Aku tidak mengingat kapan kalian terakhir kali berkumpul dan bercanda riang layaknya suami dan istri. Aku merindukan moment itu, moment di saat kita berkumpul bertiga, Ayah mengajariku banyak hal yang aku belum pahami dan Ibu sibuk mengolah bahan makanan menjadi santapan yang nikmat untuk kami santap. Aku tidak yakin apakah aku pernah merasakan moment itu sebelumnya, meskipun hati ini tetap berharap bahwa moment itu pernah terukir indah dalam kisah kehidupanku.

Ayah. Ibu. Kapan kalian akan bersatu kembali? Kapan kalian akan berdamai dan saling mendamaikan satu sama lain kembali? Aku sungguh ingin hal itu terjadi dalam hidupku. Oh God, jika aku dapat meminta sesuatu kepada Tuhan, maka aku sangat ingin bisa diizinkan untuk merasakan kebersamaan itu lagi. Kebersamaan yang saat ini bagiku hanya sebuah angan.

Ayah. Sebenarnya, aku sudah tahu semuanya saat ini tentangmu. Tak ada satu katapun terucap melalui bibir ini tentang fakta itu kepadamu. Aku mengetahuinya, tetapi aku menutupinya untuk sebuah alasan yang mampu mengiris hatiku ini tiap kali aku mengingatnya. Ayah meninggalkanku bersama Ibuku. Ayah tidak pernah lagi hadir dalam kehidupan kami. Kehadiranmu hanya bisa kami lihat melalui saldo rekening bank yang selalu Ayah isi setiap bulannya. Tetapi, itukah yang kami butuhkan? Apakah Ayah tidak tahu apa yang kami butuhkan atau Ayah sengaja menutup diri dari kami dan tidak ingin mengetahui apapun tentang kami? Semenjak Ibu mengajakku ke Jakarta saat aku duduk di bangku kelas 5 SD dahulu, aku sudah tidak merasakan lagi kehadiranmu, Ayah. Sebuah kenyataan yang mengubah kehidupanku dan Ibuku yang baru dapat kupahami saat aku beranjak dewasa. Kenyataan yang membuyarkan impianku untuk merasakan kebahagiaan sejati di dalam keluarga. Ya, aku sudah mengetahuinya, Ayah. Aku mengetahuinya dan mencoba menerimanya hingga detik ini, meski sering sekali aku harus berjalan dalam hujan untuk mencoba menyamarkan air mata ini darimu.

Memori tentang masa kecilku sering sekali terhapus dan tergantikan oleh kenangan buruk tentangmu, Ayah. Saat itu, saat aku diam sendiri menikmati keheningan kota Jakarta, kalian datang menghampiriku. Tak kulihat raut wajah bahagia yang nampak pada Ibu, begitupun juga padamu, Ayah. Tersentak dan terheran-heran, itulah yang aku alami saat Ibu mencoba merapikan seluruh barang-barang kami dan mengajakku pulang kembali ke Yogya malam itu juga. Kepolosan menjadikanku pribadi yang hanya dapat diam seribu bahasa tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah dan Ibu saat kalian pergi berdua untuk mencari makanan untukku. Tertancap dengan kuat di ingatanku, Ibu yang berangkat menuju ke Jakarta dengan penuh rasa rindu ingin bertemu dengan Ayah tiba-tiba berubah menjadi layaknya seorang korban yang melihat tak ingin melihat seorang penjahat, bahkan enggan untuk sebatas mendengar namanya. Iya, sejak saat itu engkau berhasil membuat hati Ibuku menjadi pilu penuh luka lara yang takkan sembuh seperti sedia kala, Ayah.

Hari berganti hari, bulan pun bergulir dengan lembutnya dan tak terasa aku sudah menginjak remaja. Tak kusadari berapa lama aku bertumbuh tanpa bimbingan dan pengajaran dari sosok Ayah di hidupku. Ibulah yang menjadi pendidikku di rumah. Ibu juga yang mengajariku hal-hal yang tak aku pahami di dalam hidup ini melalui cara pandangnya yang penuh dengan kelembutan. Bahkan, aku tak merasa ada yang kurang dalam hidupku tanpa kehadiranmu, Sampai suatu hari, sebuah keisengan membawaku pada memori itu. Buku-buku tergeletak di lantai tak beraturan, debu menempel di hampir setiap bagian ruangan kamar layaknya sebuah tempat tinggal yang tidak dihuni dalam waktu lama. Yap, haha itu adalah kondisi kamarku. Kamar seorang remaja yang sedang belajar mengenali keindahan dunia ini lengkap dengan keingintahuannya yang besar dan kebandelannya yang mendapatkan rating 4 dari 5 bintang. Entah bagaimana Ibuku bisa tahan terhadap diriku ini. Sebab aku tidak ingin merepotkan Ibuku, aku berusaha membuatnya bangga karena telah memilikiku sebagai satu-satunya anak dengan cara melakukan hal luar biasa yang sungguh berkesan. Aku membersihkan dan merapikan kamar tidurku, sendiri. Hmm, aku tahu apa yang ada di benakmu, iya tidak salah, itulah hal luar biasa yang aku maksudkan. Aku merapikan dan membersihkan kamarku sendiri tanpa bantuan Ibuku. Wow, mungkin Ibuku akan terperanjat penuh heran ada angin apa sampai-sampai aku melakukannya. Hehe.

Kucoba mengelompokkan setiap benda di kamar yang memiliki fungsi yang sama. Alat tulis kuletakkan bersamaan di satu tempat, perlengkapan tidur aku sisihkan dan rapikan dengan penuh kehati-hatian yang diikuti oleh rasa was-was apakah terdapat noda “iler” di bantal atau gulingku. Sebuah tas kecil berwarna putih berlapiskan garis ungu menarik perhatian mata kecilku. Perlahan, aku buka ta situ dan mencoba meraih apa yang ada di dalamnya. Sepasang benda yang belum pernah aku lihat seumur hidupku kugenggam, sorot mataku tak henti-hentinya mengamati benda tersebut sambil mencoba menganalisis benda apakah itu. Syukurlah, aku belajar dengan baik di sekolah dulu sehingga aku sudah dapat membaca. Terbacalah benda itu sebagai “Buku Nikah” yang dilengkapi oleh foto yang aku kenali, namun tidak mampu memastikan siapakah gerangan mereka ini. Kata demi kata kulahap dengan penuh keingintahuan, pikiran mencoba memahami isi dari buku yang kutemukan itu. Sebuah informasi biasa yang menjadikan hidupku tak biasa pun kutemukan. Aku melihat tanggal pernikahan kedua orangtuaku. Kurenungkan dalam-dalam apa yang telah kutemukan baru saja dan entah mengapa dada terasa sesak sesaat saat mengerti suatu hal dari informasi itu. “Aku anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuaku”, itulah pikiran pertama yang terlintas di benakku yang menancap begitu lama sehingga mempengaruhi pandanganku terhadap kedua orang tuaku. Begitu sakitnya, sehingga setiap kali aku mengingat Ayah atau Ibuku maka sebuah pertanyaan akan selalu muncul di dalam hati “Apakah benar aku ini anak yang tidak mereka inginkan?”. Mengapa mereka menyembunyikan kenyataan ini dariku selama ini? Aku tidak dapat mengekspresikan perasaan saat itu, saat dimana diriku mengetahui bahwa kelahiranku merupakan sebuah kecelakaan dan diri ini merupakan anak yang tidak pernah diinginkan. Bagaimana mungkin anak remaja yang ingin mengenal akan indahnya dunia ini harus dipertemukan dengan sebuah fakta mengiris perih yang memaksaku untuk tumbuh dalam kesedihan? Di saat itu, aku merasa Tuhan tidak adil kepadaku. Aku sungguh tidak mengerti akan rencana-Nya yang “ajaib”, setidaknya begitulah yang dijelaskan pada textbook pendidikan agama yang selama ini aku pelajari. Bagaikan sebuah kaca, diriku telah hancur menjadi butiran terkecil yang sangat mudah terbawa oleh angin dan hilang tanpa jejak.

Bertahun-tahun lamanya aku tumbuh dengan memikul kenyataan pahit itu kemanapun aku melangkah. Tak kuketahui mengapa hal itu dapat terjadi. Ikatan antara seorang Ibu dan anak mungkin yang membuat Ibuku menyadari dengan segera perubahan perilaku pada diriku. Tak kuharapkan dan tak kuduga, Ibuku menceritakan kejelasan informasi yang semakin membuatku terpukul. Ayahku telah memiliki dua istri, salah satunya adalah Ibuku. Istri Ayah yang lain tinggal bersama dengan Ayah dan hidup bahagia bersamanya yang semakin lengkap dengan kehadiran dua anak. Tak kumengerti mengapa Ayah dapat mempunyai dua orang istri, dimana saat itu dan sampai sekarang status pernikahan Ayah dan Ibuku tidaklah berubah. Ayah memutuskan hubungannya dengan kami dan mungkin mencoba menutupi kehadiran kami di dalam hidupnya. Tak kukenali keluarga Ayahku, begitupun juga teman-teman dan sanak saudara dari keluarga Ayahku. Kenyataan bahwa aku adalah anak yang tidak diinginkan semakin dalam mengakar di dalam pikiran dan hatiku. Betapa bodohnya aku yang masih berharap mendapatkan kasih sayang dan keutuhan keluarga dari seseorang yang berusaha untuk tidak menganggapku ada, bahkan mungkin kehadiranku dan Ibuku hanya dinilainya sebagai beban semata. Tak kuingini lagi saat-saat berkumpul antara Ayah, Ibu, dan aku terjadi. Tak kuharapkan kembali Ayah dapat menerimaku seperti sedia kala. Tusukan kepahitan ini telah membuatku buta akan rencana Tuhan dalam hidupku. Hingar bingar dunia seolah-olah seperti suara jangkrik di malam hari yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Sungguh, hidupku hancur!

Tak kutemukan obat yang berhasil membuat diriku ini pulih seperti sedia kala. Noda-noda kesedihan dan kekecewaan begitu pekat menempel di dalam rongga hati dan sungguh sulit untuk dapat membuangnya. Puji Tuhan, tak Kau buat harapanku sirna seluruhnya kepada-Mu, Tuhan. Di saat aku menangis dalam diam, Kau duduk di sebelahku dan menenangkanku. Isak tangis tak Kau coba hilangkan dari wajahku, namun Kau hadirkan kedamaian dan keikhlasan dalam hati untuk menerima semua ini. Di saat aku terjatuh bahkan masuk ke dalam lubang terdalam, Kau selamatkanku dan mengangkatku menuju pengharapan. Kejadian ini mungkin telah merusak dan menghancurkan hidupku. Namun, satu hal yang aku pelajari, kejadian ini tidak membuatku kehilangan pengharapan dan kepercayaan kepada Penciptaku. Sungguh, takkan ada satu hal pun di dunia ini yang terjadi tanpa seizin dari-Mu, Tuhan. Maka, hati yang remuk lebam yang dibalut dalam tubuhku ini berusaha untuk melakukan hal terakhir yang mampu dilakukannya, yaitu percaya penuh pada rencana-Mu, Tuhan. Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain membiarkan-Mu bekerja di dalam hidupku, menuntunku pada lika-liku perjalan yang mengarah kepada puncak sukacita nan sejati. Engkau pengharapanku, Tuhan.

Di balik setiap ratap tangis, pasti ada gelak tawa bahagia. Begitulah yang kurasakan hingga saat ini. Aku percaya, pengalaman hidupku sebagai anak dari keluarga broken home bukan rencana yang kecelakaan. Engkau ingin agar aku dapat memahami arti sebuah ikatan keluarga, Tuhan. Engkau juga ingin agar aku menyadari bahwa perlindungan-Mu dan penyertaan-Mu takkan meleset sedetikpun dari hidupku. Terima kasih Tuhan untuk kehidupan yang Engkau berikan. Saat ini, aku bersyukur dengan apa yang aku alami. Kekecewaan mungkin masih aku rasakan saat aku mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Namun, inilah aku manusia yang penuh dengan kekurangan yang semata-mata hanya membutuhkan pertolongan ajaib-Mu, Tuhan. Broken home membantuku memahami arti kasih yang lebih dari yang aku kira. Ia membantuku menyelami setiap inci kehidupan dengan hati yang penuh dengan kasih. Melaluinya, aku menyadari bahwa mungkin Tuhan menghancurkan hidupku di satu waktu. Aku marah, aku kecewa, dan hanya kesedihan yang aku derita. Namun, tak selamanya hujan akan terus menaungi langit. Akan datang saatnya pelangi indah yang hadir membawa keceriaan dalam hidup yang memampukan kita melupakan kesedihan akibat hadirnya hujan. Tuhan akan membentukku kembali menjadi pribadi yang lebih indah dan bermanfaat. Layaknya sebuah bejana yang cacat, dihancurkan oleh sang seniman hingga keping-keping terkecil dan menyatukannya dengan penuh kasih, membentuknya dan akhirnya menjadi bejana yang lebih indah. Demikianlah kehidupanku yang aku jalani. Kehidupanku hancur, namun tidak hancur. Terima kasih Tuhan atas kasih yang tidak terkatakan kepadaku.



Tentang Penulis :
Studi saat ini di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia


You may also like

1 komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts