Oleh :  Adistya Noventi Alba Malam ini dingin sekali, sudah seperti malam-malam biasanya di bulan-bulan penghujan yang basah. Aku sel...

Hujan

/
0 Comments
Oleh : Adistya Noventi Alba


Malam ini dingin sekali, sudah seperti malam-malam biasanya di bulan-bulan penghujan yang basah. Aku selalu menikmatinya, terutama bau tanah yang basah setelah hujan yang selalu mengingatkanku pada kampung halaman. Baunya khas, seperti ada kedamaian di dalamnya. Tapi, sesungguhnya ada kenangan yan tak pernah hilang saat hujan turun. Bukan hujan badai, bukan pula gerimis. Aku tidak suka keduanya. Hujan badai membuatku gelisah, gerimis membuatku gundah. Yang aku sukai adalah hujan deras yang turun lama, lama sekali. Aku suka hujan seperti itu, seperti berkah-Nya sedang melimpah ruah, dan kenangan indah tentang keluargaku akan tergambar sangat jelas. Saat-saat seperti itu, meski membuat rindu tapi menjadi candu.

Malam ini, hujan deras yang lama kembali turun. Sudah sejak sore tadi aku hanya berdiam diri di kamar. Kamar kontrakan yang ku sewa dengan 2 orang kakak beradik teman kuliahku saat D3 dulu. Bukannya malas, hanya saja aku sedang menikmati suasana yang entah sudah berapa lama terlepas dari hidupku. Tidak hilang, tapi sudah tak bisa lagi kudapatkan. Suasana itu adalah kenanganku dan keluargaku. Ayah, Mama, dan Mas Ven.

“Gimana sekolahmu, Dik? Apa matematikanya masih terasa sulit?”, Ayah memulai pembicaraan denganku yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menyisir rambutku yang masih basah sehabis mandi. Kakiku berisla di atas, sambil memandang keluar aku asyik mengadu tentang kehidupan kelas 4 ku dengan wali kelas yang baru pada ayah yang sangat ku sayang. “Ya, gitu, Yah.., susah kalau mau mengalahkan Andi. Tapi Bu Susi, wali kelas baruku itu, menjadikanku murid kesayangannya, lho, Yah. Bu Susi agak judes orangnya, tapi pintar sekali. Beliau memanggilku Adist, Yah!” Ayah hanya tersenyum mendengar ceritaku yang menggebu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 waktu itu. Mas Ven menyusulku dan ayah duduk di ruang tamu sementara mama masih asyik membuat “ote-ote” atau biasa disebut bakwan goreng di Yogyakarta. Aku menysul mama, membantu membawa gelas berisi teh hangat dan satu gelas kopi untuk ayah.

“Cerito opo, Dik?(Cerita apa, Dik?)” Tanya mama yang menyusul sambil membawa 3 mangkuk berisi mie telur kuah yang enak sekali. Akhirnya sambil makan, aku menggelayut manja di pundak mamaku. “Iku lho, Ma, guruku sing anyar ki seneng banet nek karo aku. (Itu, lho, Ma, guruku yang baru itu suka sekali kalau sama saya.” Aku menjelaskan hal sama pada mama. Mama menasehatiku untuk menjadi murid yang berbakti, rajin, dan tidak hanya bisa mengambil hati guru diluar, tapi harus bisa membuktikannya dengan kualitas sebaai murid yang terbaik sebagai balas budi. Lama sekali perbincangan keluarga yang kami lakukan. Menjelang maghrib mama menyudahi perbincangan itu dengan nasehat untkku dan kakaku. “Kalian harus jadi anak yang pintar! Nilai-nilainya tidak boleh turun! Kalau mau sukses, harus berusaha dengan giat!”.

Sore itu rasanya damai sekali, kami sering berkumpul bersama, saat makan, setelah sholat, tapi perbincangan tentang masa depan dan cita-cita seperti itu hanya sesekali terjadi, dan momen itu adalah perbincangan tentang masa depan yang paling lama. Aku masih sangat ingat bagaimana aku dan Mas Ven duduk bersebelahan dengan di sampingku, sedangkan ayah duduk di kursi dekat pintu. Cita-cita sebagai dokter spesialis anak yang tak bisa ku capai, muncul saat itu. Cita-cita untuk bisa berkuliah di UGM pun muncul saat itu. Aku Masih ingat bagaimana mama mengelus rambutku, tawa yang hangat dari ayahku, dan gurauan dari kakakku. Sore itu adalah sore dengan hujan terbaik yang pernah kualami.

Ah, ada rindu yang dalam menggantung di hatiku. Diam-diam aku mengambil kaca riasku yang tergantung di dinding dan menaruhnya tersandar di lantai. Sambil bersila memandangi pantulan diriku, aku menyempatkan diri untuk menangis. Kebiasaan yang muncul saat aku remaja, aku sering melakukan intropeksi diri dengan cara itu. Lama sekali memandang cermin lalu menangis. Setelah puas menangis, barulah aku bisa mengatakan semua hal bijak kepada diriku sendiri. Seperti gadis yang kesepian, aku mulai melupakan kebiasaan itu setelah usiaku berkepala dua, tapi tetap tak bisa kutinggalkan.

Malam ini setelah hujan berhenti. Aku memandang seorang wanita dengan rambut bergelombang yang panjang memakai kaos lengan pendek putih dengan celana pendek berwarna senada, bibirnya pucat, matanya menahan setitik air mata yang akan jatuh. Lalu tangisnya pecah. Dalam diam air matanya mengalir membasahi pipinya yang menonjol khas orang-orang ras Mongolian. Bibirnya terkatup rapat sampai saat ia mulai terisak. “Ayah!” hanya kata itulah yang keluar dari bibirnya yang kini bergetar menahan tangis agar tak terdengar teman di kamar sebelah. Setelah 15 menit tangisnya berhenti, ia menyadari wajahnya sudah berubah aneh. Jelek dengan kantung mata yang bengkak, bibir yang menebal karena digigiti, serta hidung yang merah bekas mengusap ingus.

“Sudahlah! Kenapa menangis? Menangis tidak menjadikanku terlihat cantik!” Lalu aku tersenyum, dan mulai tertawa. Dalam hati aku mulai menasehati diriku sendiri. Bahwa sudah banyak hal yang sudah kulalui dengan sangat hebat. Sudah banyak pelajaran yang aku ambil dari peristiwa yang sangat sulit. Sudah banyak air mata yang aku keluarkan untuk meratapi kesedihan. Sudah lewat masa suram pertengkaran Ayah dan Mama. Sudah hilang masa-masa pelarian Mas Ven. Sudah kulalui rasa sakit, sedih, malu, bingung, hancur, putus asa, menderita, dan kutukan sebagai seorang gadis bungsu dari dua bersaudara yang orang tuanya bercerai. Aku tidak boleh lagi menangis untuk sebuah takdir yang sudah berhasil kujalani, sampai sejauh ini!

Memang panjang kisahku, bagaimana kualami sebuah pelajaran yang besar dari-Nya. Aku tak akan seperti ini kalau aku tidak mengalami sebuah bencana yang besar. Broken home, sebuah hal yang masih saja terlihat tabu dan dipandang buruk oleh masyarakat. Tapi, tidak lagi terasa mengerikan lagi untukku. Broken home kini terasa sebagai berkah, dan jati diri yang meski memang sulit dilalui tapi ternyata sangat indah. Mungkin bukan “broken home yang menjadikanku seperti saat ini” tapi lebih tepat ”broken home adalah salah satu proses dalam hidupku, sebagai takdir yang memang berisi pelajaran paling penting untukku”. Diriku saat ini adalah kumpulan dari kebiasaan dan pencarian jati diri sebagai makhluk ciptaan-Nya, tapi keluargaku yang terpecah adalah sebuah proses hidup yang harus dilalui oleh tidak hanya aku, tapi juga Ayah, Mama, dan Mas Ven. Aku akan tetap menjadi diriku seperti saat ini dengan atau tanpa broken home terjadi di hidupku. Tapi, akan seperti saat ini atau berbeda sama sekali dari diriku saat ini, aku akan tetap mengalami broken home dalam kehidupanku.

Aku memandang perpecahan dalam keluarga sebagai gambaran tentang “jodoh”, salah satu dari 3 janji Tuhan yang tidak akan pernah bisa manusia ubah. Tak ada yang tau siapa jodoh dari jiwanya, begitupun Ayah dan Mamaku, ataupun aku dan Mas Ven. Akhirnya setelah jalan panjang berliku itu, aku memahami bahwa rupa dari jodoh adalah misteri. Sama halnya kematian dan kelahiran serta rizki. Tak aka nada seorang pun manusia yang tau tentang 3 janji Tuhan itu. Bahkan mamaku pernah berkata setelah pernikahannya yang ketiga, “Mama saja sampai saat ini tidak tahu siapa jodoh mama sebenarnya, Mama bahkan tidak bisa percaya apakah Papa adalah jodoh yang diberikan Tuhan untuk Mama, atau bukan.” Jadi kalau setiap orang yang mengalami hal yang sama denganku, atau semua manusia saja, yang ada di dunia memahami hal itu, maka kita akan sadar, tidak ada yang bisa disalahkan untuk sebuah perpecahan dalam keluarga. Perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, ketidakcocokan, dan banyak lagi hal yang menyebabkan broken home hanyalah sebuah seni yang Tuhan ciptakan untuk meggambarkan kisah dari kehidupan seseorang.

Tapi, pemahaman seperti itu tidak harus menjadikan semua manusia melakukan perpecahan, atau tidak percaya pada apapun yang kemudian Tuhan berikan dalam hidupnya. Manusia hanya perlu menjalankan perannya sesuai dengan alur yang Tuhan berikan untuknya serta arahan dan mengerti batasannya. Aku mengingat nasehat ayah suatu ketika saat beliau berkunjung ke Yogyakarta, “Carilah jati dirimu sebagai makhluk-Nya, dan jangan menyakiti perasaan orang lain, karena saat kamu menyakiti perasaan orang lain maka Tuhan akan merasa tidak suka dan saat Tuhan tidak menyukai suatu hal maka ridha-Nya tidak akan sampai pada orang tersebut!”. Lalu aku semakin mengerti.

Perjalanan panjang yang aku lalui itu membawaku pada sebuah pendewasaan dan kedekatan tersendiri antara aku dan Dia. Masa-masa sulit saat harus menerima keluargaku yang tercerai berai, bertemu orang lain dan memanggilnya sebagai “bapak”, “papa”, dan “ibu”; masa-masa dimana aku selalu menolak, marah dan menghindar dari kehidupan yang memuakkan; masa-masa aku mulai memaafkan kesalahan, kebohongan, dan keegoisan mama serta kesabaran ayah yang terlalu besar; masa dimana sampai saat ini aku bisa menjalani semua hal itu seperti hal yang wajar adalah perjalan panjang yang telah kuakhiri sendiri. Perjalanan itu berakhir karena aku sudah menemukan kebahagian dari ayahku yang menikahi seorang perawan tua dan memiliki dua anak lelaki yang dekat denganku, mama yang menemukan kebahagian dengan merelakan masa tuanya merawat seorang pensiunan mayor polisi militer yang sombong dan angkuh sebagai suami ke-3nya setelah bercerai dengan bapak yang menikahi mama sebagai istri ke-2, dan Mas Ven yang kini sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan dan seorang anak yang masih dalam rahim istrinya, dan aku yang memiliki kebahagian sebagai seorang wanita yang bisa mengerti semua kebahagiaan anggota keluarganya dan menjadikan kenangan indah tentang masa kecilnya bersama keluarga sebagai sumber kekuatan dan inspirasi untuk mencapai mimpi-mimpi besarku. Keluargaku boleh terpisah-pisah, tapi akan tetap utuh karena aku menyimpannya di hati. Broken home tidak menjadikanku berhenti untuk menjadi yang terbaik bagi Ayah, Mama, dan Mas ven. Broken home menjadikanku tetap berjuang untuk menjadi yang terbaik bagi Ayah, Mama, Mas Ven, Papa , dan Ibu.

Mengingat hal itu senyumku merekah lebar. Wanita berkaos lengan pendek putih dengan rambut bergelombang dalam cermin di depanku tersenyum. Matanya penuh dengan binar harapan, semangat, dan doa. “Aku pasti bisa!” teriak kecilnya dari bibir yang masih pucat. Aku berdiri dan menggantung kembali cermin rias di dinding tempatnya semula. “Terima kasih”, ucapku pada wanita di depanku. Wanita yang selama ini selalu menemaniku dan menjadi penguatku. Tidak ada yang lebih hebat darinya soal nasehat dan hukuman ketika menghadapiku dan masalah-maslah besarku. Di dunia ini aku hanya bisa percaya dan yakin pada dua hal : yang pertama pada Tuhanku yang Agung, Allah SWT ; dan yang kedua pada wanita dalam cermin yang ada di depanku. Ya, wanita itu, diriku sendiri.

Aku melirik jam waker yang kutaruh di sudut lemari bajuku, waktu sudah menunjukkan pukul 00.13 WIB. Aku sudahi malamku, setelah merapihkan tempat tidur, wudlu, dan meminum segelas air putih, aku berdoa agar Yang Esa memberiku waktu yang cukup bagiku untuk tetap hidup , demi memerbaiki kesalahanku, menebus dosa, dan yang paling penting menabur kebaikan dan menginspirasi orang-orang di sekitarku. Inilah salah satu mimpiku, aku ingin melihat lebih banyak anak-anak broken home yang sukses dan bersinar, yang kuat dan tetap teguh, yang penyayang dan memiliki mimpi. Karena aku yakin, Tuhan ada disetiap makhluk ciptaan-Nya.


Hemh…, malam ini dingin sekali. Kutarik selimut tebalku sampai sebatas leher, ku matikan lampu, dan tidur pulasku datang menunggu pagi.

           Tentang penulis :
Adistya Noventi Alba, lahir di Surabaya pada 1991 pernah menjadi peserta Jambore Nasional Pramuka 2006 dan Raimuna Nasional Pramuka 2008 ini adalah pembawa duplikat bendera pusaka Sang Saka Merah Putih pada Upacara Kemerdekaan RI di Kabupaten Gresik tahun 2008. Baru saja lulus dari Fakultas Kehutanan UGM. Penulis yang hobi memasak dan sangat menyukai kucing ini bisa dihubungi melalui email adist.tya@gmail.com


You may also like

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts