Oleh : R.U.A*) “Kalianlah yang berhak mengukir, bukan orang tua atau orang lain.” Sebagai anak pertama yang dibesarkan dalam keluar...

Missing Link

/
0 Comments
Oleh : R.U.A*)


“Kalianlah yang berhak mengukir, bukan orang tua atau orang lain.”

Sebagai anak pertama yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis, pada beberapa kesempatan (terutama untuk satu tahun terakhir) kuucapkan banyak syukur kepada Tuhan karena masih diijinkan untuk tumbuh dan berkembang dengan kesehatan mental yang cukup baik. Masa-masa sulit itu sudah terbilang mulus untuk kulalui tanpa ada seorangpun yang tahu. Ya, mereka melihatku baik-baik saja. Termasuk juga kalian. Aku yang masih sama, tidak berubah ke dalam bentukan jiwa yang lain. Aku yang akan tetap kelihatan biasa saja, namun memeluk erat-erat setiap tetesan air mata yang disimpannya.

Kujalani hidup dengan baik-baik saja, seperti kebanyakan orang. Hidup berteman, bercanda-tawa, adakalanya berhura-hura. Namun di sisi lain, kerap kali kecewaan itu hadir bersamaan dengan peristiwa yang membuatku merasa berbeda dari yang lain. Hidup sebagai anak broken home memberiku arti bahwa tak selamanya kebahagiaan dapat kita terima seutuhnya, bahkan Tuhan sudah merancang bingkai-bingkai kebahagiaan yang lain, yang jauh tak terkira indahnya dibandingkan ekspektasi kita tentang kebahagiaan sesungguhnya.

Lewat goresan pena ini, aku terlebih dahulu ingin meluruskan bahwa tidak ada maksud untuk mengajak kalian mempersalahkan orang tua. Namun, mari kita belajar bersama-sama, mengambil hikmah dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan dengan sudut pandang yang lain, bukan sudut pandang seorang anak broken home pada umumnya. Seperti kepingan puzzle, aku ingin memisahkan bagian-bagian kisahku yang aku anggap sebagai hadiah sejati dari-Nya untukku. Aku bersyukur bisa memberikan judul dengan lebih ‘sopan’ atas kepingan tersebut tanpa menyamai kesan yang terukir dalam memoriku.

Dilahirkan dan dibesarkan hingga berusia empat tahun di Kabupaten Ponorogo, aku tumbuh sebagai aku kecil yang periang dan dekat dengan nenek. Bahkan bisa dibilang saat itu, aku adalah anak dari nenekku, bukan anak dari ayah atau ibuku.  Ibuku mengajar di SMP I Kauman, sedangkan ayahku lebih sering di Sulawesi dengan alasan mencari nafkah. Hanya sesekali saja ayah pulang untuk menengok dan mengajakku bermain. Usia empat tahun adalah usia emas bagiku, karena di usia itulah aku mulai membuka mata, walaupun sekaligus menerima kenyataan bahwa kasih sayang ayahku memang telah terbagi. Kabar baiknya, aku bahagia saat itu, karena aku masih dapat menikmati kebebasan dan kemerdekaan, hidup penuh dengan tawa tanpa harus bersusah payah memendam lara. Bahkan, jika kalian bertanya padaku, “Apa fase yang paling membahagiakan dalam hidupmu?” Pasti akan kujawab dengan lantang, saat aku masih berusia empat tahun.

Dan di hari ini, tepat saat aku menulis kisahku untuk kalian, aku baru saja melewati salah satu fase membahagiakan dalam hidup, salah satu kado terindah untuk Ibu yang tak pernah lelah bertahan, walaupun kado ini masih sangat sederhana. Ya, saat ini, aku baru saja menyelesaikan karya ilmiahku untuk meraih gelar sarjana.

Sebutan Sayang Itu Bukan Milik Ibumu
Mungkin kalian sudah tak asing lagi dengan pemberitaan bahwa ada banyak hubungan pasutri di luar sana yang pada akhirnya retak, hanya karena perkembangan dan kecanggihan komunikasi sekarang. Ya, hal tersebut pula yang menjadi salah satu penyebab pertengkaran dalam rumah tangga ibu dan ayahku. Tak sekali dua kali mereka beradu suara hanya karena hubungan ayah yang terjalin dengan orang ketiga via ponsel. Lebih dari sekali pula aku memergoki, dengan bermodalkan rasa ingin tahuku sebagai anak remaja.

Waktu itu, tepat di siang hari saat aku menginjak entah kelas berapa di SMP, aku melihat handphone ayahku sedang di-charge seperti biasanya, tepat di spot kumpul keluarga a.k.a ruang tengah. Keingintahuan tentang kebiasaan ayahku sekelibat melintas dalam kepala, membayangkan sejak ayah pertama kali mempunyai handphone, yaitu lebih banyak menghabiskan waktu bersama benda mati itu dibandingkan bercengkerama hangat bersama keluarga. Pada suatu kesempatan kubuka handphone itu dan kubaca semua isi pesan dalam short message. Tentu saja, kulakukan ini secara sembunyi-sembunyi, dan mungkin kalian lebih tahu kelanjutan dari pengggalan cerita ini. Finally, ayahku pada akhirnya memergokiku yang tak pandai mencuri kesempatan dan sontak pukulan itu mendarat di tubuhku. Pukulan itu bukan saja secara fisik, tapi juga batin.

Tak kalah mengejutkan, ini terjadi saat aku sedang menghadapi UN SMP. Tentu saja, kusetujui saran atau bahkan mungkin paksaan dari ayahku untuk lebih rajin belajar dan tidak memakai handphone dalam sementara waktu. Pada akhirnya UN telah cukup berhasil kulewati dan artinya handphone itu juga harus kembali kepada si empu! Dengan sifat usilku yang memang sudah melekat, aku mengambil handphone-ku tanpa sepengetahuan ayah. Benar saja, aku mendapati beberapa pesan romantis yang seharusnya untuk ibuku, tapi memang bukan untuk ibuku. Meski jiwaku sempat terguncang kala itu, namun kututupi itu semua dengan caraku, diam, bak tak ada apa-apa di depan keluargaku. Tersadar dalam pikirku saat itu, bahwa memang sebutan sayang itu bukan untuk ibuku.

Silahkan Mencari Sumber Nafkah yang Lain
Bahkan jika kalian mengijinkan kali ini saja aku tega mengakui, kuberanikan diri untuk bilang bahwa belum pernah kurasakan jerih payah keringat seorang ayah untuk putrinya. Ayahku memang sekali dua kali melakukan usaha, namun kontribusi ibuku tetap sebesar 99,99%. Dengan kata lain, penyebab aku hidup hingga detik ini memang dari rizki yang dititipkan Tuhan lewat ibuku. Berhenti, jangan biarkan fikiran kalian meliar hingga menyisakan sekelumit kekecewaan, tidak perlu ! Ini bukan persoalan uang yang bagiku remeh temeh.

Mungkin, dalam benak ayahku, beliau teramat ingin membahagiakanku seperti ayah-ayah yang lain. Namun yang menuntunku untuk menggoreskan kesan ini, bukan karena aku kekurangan uang atau tidak puas atas pemberian ibuku. Bahkan lebih dari itu, aku mengharapkan sebuah wujud tanggung jawab seorang ayah yang nyata, ayah yang rela banting tulang demi sesuap nasi untuk anak dan istrinya. Bagiku itu indah. Bagiku itu sakral. Hanya itu saja.

Kepingan Pecahan Piring Akhirnya Bercerita
Tak sekali dua kali perdebatan antara ayah dan ibuku berujung pada terciptanya kepingan pecahan piring. Atau salah satu yang lebih parah, lemparan kursi dan sayur panas yang melukai ibuku. Saat itu, aku benar-benar marah kepada ayahku, hingga berujung sikap bungkam selama berhari-hari. Malu? Tentu saja. Suara itu pastilah meluncur secara tepat sasaran di telinga para tetangga.

Pecahan piring itu akhirnya kubersihkan juga, biasanya keesokan harinya atau sesaat setelah perdebatan tersebut berakhir, tentunya dengan air mata yang sudah mengering. Sekadar mengingatkan kembali tentang tulisanku di awal cerita ini, bahwa aku akan selalu memeluk erat-erat air mata itu, tanpa harus keluargaku tahu. Keheningan menyertaiku bersamaan dengan pandanganku pada pecahan piring itu, mereka seakan ingin mengutarakan sesuatu padaku. Belakangan kucoba untuk mencerna pesan mereka, hingga kutemukan jawaban bahwa jangan pernah melibatkan kepingan piring hanya untuk menyelesaikan kesalahpahaman. Tuhan telah menganugerahi kita dengan mulut dan lidah yang berguna untuk menyelesaikan sebuah perkara lewat komunikasi yang baik.

Missing Link itu Bernama Kematian
Sejak awal semester lima, ayahku memang menderita penyakit serius. Tubuhnya yang gagah mulai layu, senyumnya yang menawan mulai tergantikan dengan rintihan kesakitan. Dugaanku, ayah terkena penyakit komplikasi karena gaya hidupnya yang tidak sehat akibat merokok, banyak minum manis, dilengkapi dengan kurangnya aktivitas. Akhirnya, kulewati semester lima dengan bolak-balik Kudus-Jogja hanya untuk menjenguk ayahku yang keluar masuk rumah sakit. Untungnya, semua telah di-cover oleh asuransi kesehatan, sehingga tidak membebani kantong ibuku demi membayar tagihan selama masa perawatan.

Jujur saja, detik ini saat kuketik bagian ini untuk kalian, air mataku tak sengaja menetes. Rasa haru tiba-tiba menyelimuti pikiranku, tapi tenang saja. Ini hanya sementara.

Dari diagnosis dokter, ayahku diketahui menderita penyakit komplikasi berupa ginjal, paru-paru, jantung, hipertensi dan diabetes. Satu hal yang bisa aku teladani dari ayahku saat itu adalah, bahwa jangan pernah mengeluh untuk sesuatu yang masih bisa diusahakan, yaitu kesembuhan. Ayahku begitu optimis dalam menghadapi penyakitnya. Saat itu rasa bangga dan sayang terhadap ayah perlahan pulih. Harapan bahwa ayah akan berubah terbentang nyata. Terimakasih yang tiada terkira kepada Tuhan berkali-kali aku panjatkan. Aku  bahagia bukan karena merasa senang di atas penderitaan orangtua, namun lebih kepada adanya keluangan waktu ayah untuk dapat bercengkerama dengan kami dan Tuhan. Terlebih, Ayah berulang kali meminta maaf kepada ibuku atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Namun, saat kondisi ayah mulai membaik, harapan itu pada akhirnya terlihat semu. Ayah seakan lupa dengan janji sucinya saat sakit melanda. Dalam batin kecilku, aku percaya, Tuhan ingin menahanku, mengujiku sekali lagi dan lagi. Harapanku sempat pupus namun tetap, aku ingin ayah dapat berubah untuk menggenapi kebutuhan sosok ayah yang aku idamkan selama ini. Aku sangat mengharapkan waktu itu datang. Aku sangat ingin mendekap erat sosok ayah yang seperti dulu, di awal usia pernikahan, di saat aku balita. Semuanya terasa manis dan tak ada sejengkal pun jarak yang memisahkan kami. Sebuah jarak yang tercipta bukan karena tempat, namun jarak yang terbentuk oleh pudarnya ikatan seorang ayah kepada anaknya.

Aku lelah. Pada akhirnya kubersimpuh di pangkuan Tuhan, memohon agar Dia dapat segera membuka semua jawaban yang selama ini tersimpan. Kali ini air mataku pecah, luluh lantah, dalam balutan mukena hingga menyisakan tanda basah yang mengering.

Inilah saatnya, aku bercerita tentang missing link yang aku maksud. Tepat pada tanggal 10 Juni 2015. Malam sebelumnya, ibu meneleponku agar aku segera pulang untuk melihat kondisi ayah. Saat itu aku berfikir, bahwa pastilah ayah akan sama seperti hari-hari yang lalu, terkulai sakit namun setelah itu ‘lupa’ lagi. Keesokan harinya, entah mengapa tiba-tiba aku tersentak, menangis, sangat merindukan ayah. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang, berharap kondisi di rumah baik-baik saja. Sesampainya di kampung halaman tercinta, aku langsung berlari dari bis menuju rumah sakit, tak sabar ingin melihat bagaimana kondisi ayah.

Sesampainya di ruang tempat ayahku dirawat, badanku lemas. Kakiku mendadak dingin, sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak jatuh di depan sanak saudara apalagi ibuku. Ayahku yang kuat, ayahku yang optimis, saat itu terkulai tak berdaya. Jangankan berbicara, bahkan sekadar menyapa dan membuka mata untukku pun sangat sulit dilakukan. Ya, ayahku benar-benar dalam keadaan kritis saat itu. Seketika kepalaku mendadak terasa sakit, terlebih hari itu adalah minggu tenang, minggu dimana aku semestinya harus berkonsentrasi untuk menghadapi ujian penentu semester enam. Hasil ujian itu akan amat menentukan, apakah aku dapat mengambil skripsi di semester tujuh atau tidak.

Pada akhirnya, tepat selepas maghrib saat proses cuci darah pertama yang ayah jalani, ayah menghembuskan nafas terakhir. Yang kusesali, aku tak dapat melihat dan menyaksikan secara langsung karena saat itu aku berada di ruang opname, sementara ayah di ruang cuci darah. Tante berlari di ruang tempatku berada dengan raut muka teramat sedih namun tertahan, mungkin tak ingin membuatku menjadi rapuh. Akhirnya, kuterima kabar itu. Kabar yang bukan saja tentang kematian, tapi tentang pupusnya harapan untuk dapat melihat ayah berubah dan mengganti hutang nilai-nilai dan panutan yang belum sempat terbayar lunas. Sejatinya hingga sekarang, aku sedih dan kecewa bukan karena kematian itu, tapi lebih kepada kehausan sosok ayah yang belum sempat sepenuhnya kucicipi.

Berdamailah Dengannya Demi Keringkan Luka
Rupanya, untuk beberapa kali Tuhan ingin memberiku pelajaran berarti di tengah kesedihan yang muncul tenggelam kala itu. Wanita itu, sering mengirim pesan kepada ibuku mengenai hutang ayah yang belum dilunasi. Sontak saja, ibuku lebih sering uring-uringan daripada biasanya. Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk menyelesaikan semuanya dengan wanita itu, tanpa sepengetahuan ibu. 

Kuajak beliau untuk berbincang-bincang dari hati ke hati (via media sosial), sembari memohon bahwa hutang itu baiknya diikhlaskan  saja jika memang benar adanya. Bukan karena apa-apa,  dalam ajaran agamaku, jika terdapat hutang tanpa bukti dan saksi, maka hutang tersebut tidak wajib dibayar. Landasan tersebut juga diperkuat dengan hasil diskusiku bersama dosen agama yang sempat kutemui.

Aku berusaha menjelaskan, bahwa memang aku tidak pernah mengetahui seluk beluk hutang itu apalagi kecipratan untuk menikmatinya. Pembicaraanku dengannya pada akhirnya merembet, menjadi semakin dalam, menjadi semakin dekat. Hingga pada akhirnya, wanita itu justru berhubungan baik denganku—hingga saat ini. Kabar baiknya, dari kejadian ini kutemukan sebuah kalimat inspiratif  baru: “Untuk melupakan kepahitan, maka berdamailah dengan penyebab kepahitan itu, kendati pun dia telah menorehkan sejarah menyedihkan dalam hidupmu.”

Hadapi Semuanya dengan Tertawa
Suatu hal yang pantas kusyukuri selama menjalani rentetan peristiwa mengharukan itu, aku masih keep on the track, tidak melenceng kepada hal negatif semisal narkoba, atau penurunan prestasi. Kejadian demi kejadian itu bahkan kujadikan pelecut semangatku untuk lebih baik demi menjadikan ibuku bangga. Bahkan jika kalian mengalami sepertiku, tolong belajarlah untuk tidak mencampur adukkan kehidupan dan masa depan pribadimu dengan kejadian eksternal terpahit apapun. Tetaplah menjadi kamu apa adanya.

Terkhusus untukku, bahwa dari sebutan sayang itu, aku belajar untuk tidak mengumbar sebutan yang sama kepada sembarang orang (yang bukan hakku). Bahwa dengan seizin Tuhan, aku mampu mencari segenggam recehan hasil keringatku sendiri. Dan bahwa dengan kepingan pecahan piring itu, kupahami bahwa broken home tidak berhak untuk membuatmu ikut pecah berkeping-keping seperti piring itu. Termasuk atas missing link yang sempat kukecap, yang memberiku semangat untuk memutus mata rantai broken home pada generasi penerusku kelak.

Selama aku menjalani pendidikan dari SD hingga kuliah, telah beberapa kali aku memenangkan kejuaraan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu. Aku juga sempat merasakan nyamannya mengudara untuk menyapa pendengar lewat job penyiar radio semasa SMA. Pun pada akhirnya aku diterima di Universitas Gadjah Mada, menerima beberapa beasiswa hingga menjadi asisten profesor di fakultasku. 


Kisah ini kuabadikan khusus untukmu, cinta pertamaku. Ayah.

*)  Nama penulis disamarkan



You may also like

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts