Oleh : Annisa Fitria Ayah Ketika suatu hari kamu bertanya pada ibu tentang cara ia bertemu dengan ayah, ibumu tidak pernah me...

(Dalam) Diam

/
0 Comments
Oleh : Annisa Fitria


Ayah

Ketika suatu hari kamu bertanya pada ibu
tentang cara ia bertemu dengan ayah,
ibumu tidak pernah menjawab.
Sejak itu kamu mengurungkan niatmu
Untuk bertanya lebih lanjut mengenai ayah.
Yang kamu tahu adalah kamu bersyukur punya ayah.
Yang kamu tahu adalah cara berterima kasih
dibesarkan dalam keluarga yang menyayangimu sepenuh hati meski terpisah jarak.
Tuhanku Yang Maha Baik,
Jika nanti anakku bertanya tentang cara aku bertemu dengan ayahnya,
tolong pastikan aku bisa menjawabnya.

(Sumber : tulisan penulis dalam tumblernya)

Kalau aku diminta untuk menceritakan mengenai kisah keluargaku, jujur saja hal itu lebih susah dibandingkan mengerjakan soal ujian nasional. Aku tidak pernah terbuka pada siapa pun tentang kondisi orang tuaku sampai aku duduk di bangku S2. Kuliahku di magister profesi psikologi klinis sebenarnya ‘memaksa’ ku untuk terbuka dan berproses dengan masa lalu. Istilah ‘berproses’ menjadi begitu sering ku dengar sebagai kata yang mewakili penerimaan secara sederhananya. Kalau kamu bisa menerima dirimu sendiri, maka kamu akan lebih mudah menerima orang lain. Pekerjaan sebagai psikolog nantinya bisa jadi akan mempertemukanku dengan orang lain yang masalahnya sama denganku dan aku percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. “Lalu bagaimana kamu bisa berjalan bersama dengan klienmu untuk melayani mereka jika kamu sendiri tidak pernah selesai dengan masa lalumu?” Begitu filosofi yang diyakini di perkuliahanku selama ini.

            Aku berusaha menenangkan diriku sendiri bahwa tidak apa-apa mencoba mempercayai orang lain. Tidak pernah terbayang darimana aku harus memulai ceritaku. Deg-degannya bukan main saat itu. Rasanya lebih dari pertemuan dengan seseorang yang kamu suka, kalau kamu pernah jatuh cinta. Aku merasa seperti penjahat yang mau melakukan pengakuan dosa, tapi aku bukan penjahat. Kali pertama aku bercerita pada salah seorang sahabatku sejak S1. Ketika itu kami dipasangkan dalam suatu kesempatan praktek konseling di kelas. Itu pun masih ku biarkan sahabatku dulu yang pertama kali menyampaikan kisahnya. Katakan aku pengecut sesuka hati kalian. Pengecut yang kemudian menangis sejadi-jadinya setiap kali menyebut kata “ayah” dalam ceritanya.

            Hai Ayah! sudah lama ya aku tidak menyebut namamu dalam cerita keseharianku. Secara matematis bisa aku simpulkan 1:1000 aku menggiring namamu masuk dalam ceritaku dibandingkan dengan mama. Waktu itu, bukan aku tidak mau menceritakanmu pada teman-temanku, tetapi memang aku tidak tahu kenangan apa yang bisa aku bagikan pada orang lain. Aku minta maaf tapi begitulah perasaanku. Pernah dosenku memintaku untuk bercerita tentangmu dalam sebuah kesempatan terapi. Apa boleh buat, baru saja aku mulai berpikir ternyata air mata lebih cepat memberi respon daripada bibirku sendiri. Aku sadar bahwa memang ada yang salah dengan hubunganku dan ayah selama ini. Saat ini sepertinya aku sudah lebih siap untuk berbagi dengan orang banyak. Ini lah kisahku dengan ayah.

            Asosiasi yang bisa aku berikan jika aku mendengar kata ayah adalah “dingin”. Bagiku, ayah memang dingin. Dingin.....sekali sampai aku tidak tahu kapan ayah senang, marah, ataupun sedih. Ayah tidak pernah sekali pun marah atau membentakku. Di dunia ini semua anak pasti pernah dimarahi ayahnya, tapi aku tidak. Hebat kan? Seharusnya masa kecilku dengan ayah menyenangkan, tapi ternyata diam nya ayah itulah yang membuat kami tidak hangat. Yang aku tahu, sejak kecil mama dan ayah tidak pernah sekamar seperti layaknya orang tua di sinetron layar kaca. Walaupun begitu, dulu setiap hari Minggu, aku masih bisa merasakan pergi makan atau belanja bulanan bersama. Dulu, aku masih bisa sholat berjamaah diimami ayah di rumah. Dulu, aku suka cara ayah bercanda saat kami main PC games di kamar. Dan yang terakhir aku ingat, dulu, kami masih bisa liburan sekolah ke Yogyakarta bersama walaupun banyak situasi yang harus ‘dimaklumi’ sepanjang perjalanan. Mungkin itu terakhir kali aku merasa ada momen ‘keluarga lengkap’ dimana ayah dan mama berada bersama-sama setidaknya dalam satu mobil.

            Oh iya, aku punya seorang adik perempuan sekaligus temanku berbagi di rumah. Mamaku sering mengeluh tentang ayah, tapi lagi-lagi ayah hanya bertahan dalam diam. Kalau dalam sejarah pernah ada perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika, begitulah suasana rumahku. Ayah dan mama berbicara lewat aku dan adikku. Kadang aku dan adikku saling menyuruh untuk menyampaikan pesan diantara keduanya karena kami tidak mau membuat perang dunia ketiga terjadi di rumah. Tapi untunglah hal itu tidak pernah terjadi. Ayah bukan tipikal orang yang ekspresif dan menunjukkan perhatiannya kepada keluarga, Aku sudah terbiasa tampaknya. Keluargaku yang pernah ku rasa lengkap kehadirannya, perlahan-lahan mulai pudar. Kami tidak lagi makan di satu meja makan, tidak lagi buka puasa atau sahur bersama, tidak lagi saling tegur sapa, dan aku juga terbiasa tidak bertemu dengan ayah selama beberapa hari meski kami berada dalam satu atap.

Isu perceraian sudah pernah aku dengar beberapa kali dari mulut mama. Tapi mama selalu bertahan karena aku dan adikku, dan karena ayah sendiri terlihat acuh tak acuh. Aku dan adikku mulai tinggal jauh dari keluarga karena kami kuliah di luar kota Jakarta. Mama nampaknya semakin tidak sanggup bertahan tinggal di rumah tanpa kami. Akhirnya mama memutuskan untuk pindah ke Bandung setelah pensiun di tahun 2015. Ya, mama dan ayah resmi berpisah secara geografis sejak satu tahun lalu. Tidak pernah ada kata bercerai terlontar dari mulut keduanya. Begitu pula dengan teman-teman kuliahku yang semakin kritis bertanya tentang ayah. Pada kenyataannya aku memang terlalu munafik untuk mengakui ketidakharmonisan kedua orang tuaku.

Aku katakan pada semua orang bahwa ayahku sibuk sehingga jarang mengunjungiku di Jogja. Aku katakan pada semua orang kalau mamaku selalu bolak-balik Jakarta-Bandung agar tampak tidak mencurigakan. Sampai suatu hari, salah seorang sahabatku bertanya “ayah itu orangnya seperti apa sih, Nis?” Tentu saja aku bingung menjawabnya, tapi aku berkilah dengan mengatakan bahwa ayah memang sangat pendiam dan sangat sabar sebagai satu-satunya lelaki di rumah. Satu hal yang aku sadari setelah itu bahwa dibandingkan kata ‘dingin’, kata ‘sabar’ terdengar lebih baik dalam menggambarkan ayahku.

Betapa tidak, lebih dari 20 tahun mengenal ayah tetapi teramat jarang mengungkapkan amarah dan kekecewaannya pada anggota keluarganya sendiri. Bertahan dalam diam itu pasti menyiksa ayah. Tentu saja, sampai saat ini pun aku tidak paham maksud dari segala diamnya. Kata beliau sih supaya tidak bertengkar, karena ayah masih tetap ingin bertahan dalam keluarga istimewa kami sampai kapanpun meskipun begini keadaannya. Yang aku tahu saat itu, ayah masih tetap ingin keluarga kami ada. Tapi sulit rasanya terutama bagiku untuk bertahan dalam keluarga yang tidak seperti keluarga. Kalau aku jadi ayah, pasti aku sudah tidak akan sesabar itu.

Kedua orang tuaku memang sudah tidak satu rumah lagi. Tidak pernah ada surat cerai dari pengadilan, tapi mereka sudah berpisah secara agama. Kata ayah, lebih baik berpisah secara agama daripada mama maupun ayah sama-sama berdosa karena meninggalkan kewajiban masing-masing dalam rumah tangga. Aku bisa mengerti, sangat mengerti. Mama tidak pernah melarangku menghubungi ayah. Mama bilang, “sampai kapanpun tidak ada yang namanya mantan ayah, nak”. Kata berpisah pernah aku dengar pertama kali saat aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu aku berusaha merelakan kalau memang kedua orang tuaku bahagia dengan jalan hidupnya masing-masing. Tapi tentu saja aku berbohong. Aku yang dulu tampaknya masih egois dan terlalu peduli dengan pandangan orang lain akan keluarga yang dianggap sempurna.

Tapi coba lihatlah dengan lebih dewasa, ternyata Allah sangat sayang padaku. Sekali lagi aku diberikan kesempatan untuk merasakan keluarga lengkap meski hanya satu hari. Ayah dan mamaku datang pada hari kelulusanku di bulan Agustus 2015. Tidak apa aku harus menjemput mereka di hotel yang berbeda dan tidak masalah bagiku karena harus berpura-pura di hadapan semua orang bahwa keluargaku tampak baik-baik saja. Setidaknya, aku bisa punya foto keluarga karena memang keluarga istimewaku tidak pernah punya foto bersama yang terpasang di ruang keluarga.

Hari itu tanggal 20 Agustus 2015. Aku wisuda. Dua hari sebelum upacara wisuda, aku menghubungi ayah dan meminta beliau hadir. Yang ku ingat pertanyaan ayah adalah “ayah boleh datang, nak?” Tentu saja boleh! Aku senang sekali karena ayah mau datang. Momen itu adalah pertama kalinya aku meminta ayah melakukan sesuatu untukku. Datang ke acara kelulusan S1 ku adalah kali pertama setelah sejak TK sampai SMA ayah tidak pernah datang dalam hari besar kelulusanku. Ayah meminta aku memilihkan baju untuknya. Saat itu aku merasa sepenuhnya menjadi anak perempuan tertua ayah. Aku dan ayah tidak pernah sedekat malam itu ketika ayah bercerita padaku atas segala penyesalan dan kekecewaannya terhadap keluarga istimewa kami. Aku bisa melihat ayah mau menangis karena begitu pun aku. Hari itu aku sepenuhnya merasa memiliki seorang ayah. Ayah yang selama 23 tahun aku rindukan kehadirannya, hari itu beliau ada untukku.

Satu hal yang aku sadari, ayahku yang dingin tetaplah seorang ayah. Ayahku yang dingin ternyata tetap merasa kehilangan ketika mendapati lemari kedua putrinya kosong dan tidak ada lagi pakaian di dalamnya. Ya, karena aku dan adikku ikut dengan mama pindah ke Bandung. Ayah bilang padaku, saat itu ayah sesungguhnya merasa jauh dari kami. Sangat jauh. Ayah merasa sudah tidak ada lagi orang disampingnya. Air mataku hampir tumpah bahwa ternyata beliau tetaplah ayahku, bagaimana pun kecewanya masa kecilku. Kupikir wisuda bisa menjadi hari bersejarahku dengan ayah selain hari pernikahanku nanti.

Kedua orangtua sebenarnya diizinkan masuk ke dalam gedung upacara wisuda, namun duduk terpisah dengan wisudawan. Tidak mudah bagi ayah dan mamaku untuk duduk bersama setelah sekian tahun tidak berkomunikasi. Pada akhirnya, ayah ditemani adikku menyaksikan prosesi wisuda dari gedung yang berbeda melalui layar lebar. Adikku menghampiriku setelah selesai upacara, “kak, ayah bangga banget sama kamu. Tadi pas kamu dipanggil dia minta aku buat terus ambil gambar dan jangan sampai kelewatan.” Ayahku memang tidak pernah menyatakan rasa bangganya secara tersurat, sampai aku tidak pernah sadar bahwa beliau bisa merasa bangga pada anaknya. Terima kasih, Ayah.

Sepertinya aku banyak bercerita tentang ayah daripada mama. Sebenarnya  alasannya sederhana, karena aku tidak pernah mengungkapkan secara langsung apa yang aku rasakan kepada ayah selain lewat tulisan dan ini pertama kalinya. Keluargaku istimewa. Begitulah keadaannya. Tapi ayah dan mama punya porsi masing-masing dalam setiap rentang kehidupanku. Aku belajar banyak hal tentang agama dari ayah. Aku belajar kesabaran dan kesederhanaan dari ayah. Ayah membuatku tumbuh menjadi pribadi yang berani mengambil keputusan saat mama ragu akan keinginanku untuk belajar ke luar negeri 7 tahun lalu. Ayah yang selalu menemaniku saat mama tidak mau makan gulai kepala ikan di rumah makan padang. Ayah yang selalu aku ingat, kalau aku makan nasi panas dengan lauk pepes di rumah makan sunda. Ayah yang tidak pernah memarahiku dan selalu menegurku dengan caranya yang diam-diam menyentil terlalu dalam.


Sebenarnya, ayah dan mamaku itu saling melengkapi. Allah itu Maha Adil yah, hanya saja aku yang kurang bersyukur dengan kondisi keluarga istimewaku. Keluargaku mungkin tidak tinggal bersama layaknya keluarga lain. Keluargaku mungkin  tidak sehangat dan sedekat keluarga lain, tapi aku ada karena ayah dan mamaku pernah bersama. Aku mensyukuri segala yang telah Allah berikan karena mereka tidak pernah bertengkar di hadapanku, mereka tidak pernah melakukan kekerasan fisik padaku, mereka tidak pernah menyalahkan atau menuntutku. Terima kasih telah mendidikku sampai saat ini dalam agama dan cinta kasih, dalam diam dan dalam jarak. Aku sayang kalian, mama..ayah.. J



Tentang penulis :
Nama lengkap saya Annisa Fitria dan biasa dipanggil nisa. Saya lahir di Jakarta, 27 Juni 1992. Saat ini saya sedang melanjutkan sekolah di Magister Profesi Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kalian bisa menghubungi saya melalui annisafitria92@hotmail.com


You may also like

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts